Sejarah Bedug Pendawa
Bedug
Pendawa disebut juga Bedug Kyai Bagelen. Bedug ini diletakkan di serambi Masjid
Agung Darul Muttaqin Kabupaten purworejo. Konon kabarnya bedug ini
merupakan bedug terbesar di dunia.
Bedug
Pendawa di buat pada zaman Pemerintahan Raden Adipati Cokronegoro I. Bedug ini
terbuat dari pangkal pohon Jati Bang, yang batangnya telah dipakai untuk
membuat saka guru Masjid Agung serta Pendapa Kadipaten. Pohon Jati Bang
ini memiliki 5 cabang dan pangkalnya berdiameter hampir 2,5 meter.
Pembuatan
bedug ini dipimpin oleh Raden Tumenggung Prawironagoro yang menjadi
Wedana Bragolan sekaligus adik dari Raden Adipati Cokronegoro I. Pembuatannya
diperkirakan sekitar tahun 1834 – 1840 Masehi
Setelah jadi
bedug ini memiliki ukuran sebagai berikut
Garis tengah
bagian depan = 194 cm
Garis tengah bagian belakang = 180 cm
Keliling lingkaran depan = 601 cm
Keliling lingkaran belakang = 564 cm
Panjang rata-rata = 292 cm
Garis tengah bagian belakang = 180 cm
Keliling lingkaran depan = 601 cm
Keliling lingkaran belakang = 564 cm
Panjang rata-rata = 292 cm
Proes pemindahan bakal bedug dari Bragolan menuju Kota
Purworejo dipimpin oleh Kyai Haji Muhammad Irsyad, Kaum (Na’ib) desa Solotiang,
Loano, Purworejo, Putra menantu Raden Tumenggung Prawironagoro. Bedug tersebut
diangkut dengan menggunakan beberapa gelondong kayu yang digunakan sebagai
roda, jarak yang ditempuh adalah sekitar 9 km dan memakan waktu sekitar 20
hari.
Setelah bakal bedug tersebut sampai di masjid Agung
Kota Purworejo, maka selanjutnya disempurnakan sebagaimana halnya sebuah bedug,
yaitu dengan dipasang penutup bedug dari kulit. Karena besarnya bedug itu, maka
diperlukan kulit penutup yang besar pula, maka dicarilah kulit yang besar dari
hewan besar. Pada masa itu masih banyak terdapat banteng, maka jatuhlah
pilihan pada hewan ini. Setelah kulit banteng didapat, lalu dipanggillah seorang
ahli pemangkis (penutup) bedug yang terkenal di Purworejo
Sebelum di tutup, didalam bedug itu dipasang 2 buah gong, dipasang behadapan dengan maksud, apabila bedug tesebut ditabuh, maka getarannya akan diteruskan pada kedua gong tadi. Diharapkan suaranya akan bertambah nyaring (beresonansi).
Bedug Agung yang telah selesai diberi penutup dari kulit banteng tersebut, digantung pada kerangka kayu jati dengan rantai besi. Kemudian diletakkan di sebelah selatan serambi Masjid Agung. Disampingnya diletakkan sebuah kentongan kayu jati yang agak besar sebagai pembantu irama bedug bila di tabuh. Pada awalnya Bedug Ageng itu ditabuh orang apabila telah tiba saatnya sholat fardlu 5 waktu. Jadi dalam satu hari Bedug Agung di pukul dengan irama tertentu sebanyak lima kali. Pada masa itu pepohonan masih cukup rapat, dan udara tidak begitu kotor, tidak ada suara bising dan hiruk pikuk, maka suara serta gema dari bunyi Bedug Agung terdengar sangat keras.
Pada Tanggal l3Mei 1936 penutup bedug di ganti dengan
kulit lembu Ongale
Penggantian kulit Bedug Agung yang berikutnya adalah pada tanggal 3 Mei 1993 Masehi, yang diganti ialah kulit penutup bagian belakang, adapun penggatinya hanya kulit sapi biasa yang cukup besar hibah dari seorang dermawan dari Cilacap.
Penggantian kulit Bedug Agung yang berikutnya adalah pada tanggal 3 Mei 1993 Masehi, yang diganti ialah kulit penutup bagian belakang, adapun penggatinya hanya kulit sapi biasa yang cukup besar hibah dari seorang dermawan dari Cilacap.
Sebagai penguat sekeliling kulit Penutup Bedug, diberikan paku keling yang terbuat dari kayu jati yang berjumlah 112 buah pada bagian depan dan 98 buah pada bagian belakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar